Sabtu, 08 Januari 2011

SESAT PIKIR SOAL PRT MIGRAN


SESAT PIKIR SOAL PRT MIGRAN


Sabtu, 18 Desember 2010 | 03:47 WIB
Oleh Wahyu Susilo

Tanggal 18 Desember 2010 adalah Hari Buruh Migran Sedunia bertepatan dengan 20 tahun kelahiran Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Momentum ini merupakan saat yang tepat untuk menegaskan kembali agenda perlindungan hak-hak buruh migran saat kekerasan terhadap buruh migran, terutama pekerja rumah tangga migran Indonesia, terus terjadi.
Dalam menghadapi kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di luar negeri, setiap kali pula muncul tuntutan agar Indonesia menghentikan penempatan PRT migran Indonesia keluar negeri.
Alasannya bisa bermacam- macam: karena mereka berpendidikan rendah dan tidak berketerampilan, masuk kategori sektor informal, hingga argumentasi moralis bahwa ”mengirim babu keluar negeri merendahkan martabat bangsa”. Tulisan ini mencoba menyikapi secara kritis tuntutan-tuntutan tersebut dalam perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak perempuan dan hak buruh migran.
Dalam konstruksi sosial yang patriarkis, penghargaan terhadap kerja sangatlah diskriminatif. PRT migran mengalami diskriminasi yang berlapis-lapis sehingga kerentanan yang dihadapinya bertumpuk-tumpuk.
Sebagai perempuan, PRT migran distigma sebagai pekerja yang penurut, didiskriminasi dalam skema pengupahan, dan rentan mengalami kekerasan berbasis jender (pelecehan seksual dan perkosaan).
Sebagai pekerja asing, PRT migran berhadapan dengan sistem keimigrasian yang restriktif dan politik xenophobia yang semakin hari semakin berkembang.
Sebagai pekerja di sektor yang belum terlindungi dalam hukum perburuhan, PRT migran berhadapan dengan situasi kerja yang tidak layak, tak bisa berserikat, dan sulit untuk menikmati hari libur.
Kehilangan argumen
Dengan mengupas akar masalah yang sedemikian kompleks yang dihadapi oleh PRT migran Indonesia, kita didorong untuk mencari jalan keluar yang komprehensif tanpa harus turut serta menghakimi dan menjatuhkan vonis melarang perempuan-perempuan Indonesia bekerja sebagai PRT migran keluar negeri.
Bekerja keluar negeri adalah hak asasi manusia yang harus dihargai dan merupakan kewajiban dari negara untuk memastikan pelaksanaan hak tersebut terpenuhi dan terlindungi.
Pemerintah punya peran penting dalam mengonstruksi sesat pikir soal PRT migran. Keengganan pemerintah (bersama parlemen) untuk menyusun Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga semakin memperpanjang kerentanan pekerja rumah tangga karena tak tercakup dalam skema perlindungan hukum perburuhan. Dalam diplomasi perlindungan PRT migran, Indonesia juga akan kehilangan argumen jika ditantang balik mengenai perlindungan PRT di Indonesia sendiri.
Konstruksi sesat pikir yang juga terus dibangun oleh pemerintah adalah dengan menyebut PRT migran sebagai pekerja tak berketerampilan (unskilled) dan informal. Dikotomi skilled dan unskilled dikritik kalangan feminis sebagai bentuk diskriminasi pekerjaan yang mempunyai implikasi pada pengupahan. Sementara konsep informal tak beda jauh sebenarnya dengan konsep tak resmi (ilegal). Ini merupakan bentuk penghindaran negara dalam memenuhi hak-hak normatifnya. Dalam demografi angkatan kerja, mayoritas pekerja yang dikonstruksikan sebagai unskilled dan informal itu adalah perempuan.
Di negara-negara yang memberikan pengakuan kesetaraan pada pekerja rumah tangga (baik dalam UU Perburuhan maupun UU Perlindungan PRT), tak ada lagi penyebutan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga sebagai pekerja unskilled dan informal.
Dalam berbagai kesempatan, para pejabat negara selalu menyatakan bahwa Indonesia bertekad untuk mengurangi penempatan buruh migran yang unskilled dan nonformal dan berupaya meningkatkan penempatan buruh migran skilled di sektor formal untuk meningkatkan penerimaan remitansi. Pernyataan ini jelas merupakan ancaman terhadap pemenuhan hak kaum perempuan Indonesia untuk bekerja.
Ironisnya (atau lebih tepat kurang ajarnya), selama lebih kurang 40 tahun Pemerintah Indonesia menikmati remitansi jerih keringat PRT migran Indonesia yang merupakan wajah utama buruh migran Indonesia. Kebijakan resmi pertama Pemerintah Indonesia dalam penempatan buruh migran adalah pengiriman PRT migran ke Arab Saudi pada dekade 1970-an. Kebijakan ini memanfaatkan keresahan Pemerintah Arab Saudi dalam menghadapi PRT migran asal Filipina yang menuntut kondisi kerja dan upah layak.
Kondisi ini dijadikan peluang oleh Pemerintah Indonesia untuk menawarkan ”keunggulan komparatif” PRT migran Indonesia. Keunggulan komparatif itu adalah: bersedia dibayar murah dan penurut. Dengan modal keunggulan komparatif itulah sampai sekarang Indonesia mendominasi pasar tenaga kerja sektor PRT migran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik.
Realitas ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia sendiri menginginkan agar PRT migran Indonesia ”tetap layak jual” sehingga tak perlu memperjuangkan adanya standar upah yang layak serta tuntutan pemenuhan hak-hak normatif sebagai pekerja.
Memberi pengakuan
Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengakhiri eksploitasi terhadap PRT migran Indonesia sebagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif serta berhenti mendiskriminasi mereka sebagai pekerja unskilled dan informal. Pemenuhan hak-hak PRT migran harus dimulai dengan memberikan pengakuan bahwa pekerja rumah tangga (bukan pembantu rumah tangga) adalah pekerja yang dilindungi oleh hukum perburuhan.
Dengan adanya pengakuan tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kerja pekerja rumah tangga, menjamin upah yang layak, serta memiliki hak untuk berserikat. Dalam hal penempatan PRT migran keluar negeri, negara dituntut untuk memaksimalkan diplomasi perlindungan dan memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman.
Pada bulan Juni 2011, Organisasi Buruh Internasional (ILO) akan menyelenggarakan International Labour Conference dengan agenda utama penetapan Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini menjadi penegas bahwa pekerja rumah tangga adalah profesi yang diakui dalam hukum perburuhan dan setara dengan profesi-profesi yang lain.
Untuk mengakhiri sesat pikir soal PRT migran yang selama ini melegitimasi eksploitasi dan diskriminasi PRT migran, Indonesia mutlak harus meratifikasi Konvensi ILO tentang Pekerja Rumah Tangga dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Wahyu Susilo Analis kebijakan Migrant CARE dan Program Manager INFID


KEUNTUNGAN DALAM KETERTINDASAN

Jumat, 05 Juli 2002 07:00 Rosidin

 

Ada Apa Dengan Buruh Migran Kita ?

Kita sering mendengar pembantu rumah tangga asal indonesia diperkosa, dipukuli dan hilang di negeri orang. Bahkan ada yang divonis hukuman mati karena dituduh membunuh. Pada tanggal 21 Juni 2000 misalnya, mata seorang pembantu bernama Iroh dicukil majikannya di Abu Dabi. Tanggal 3 Agustus 2000 lima TKW asal Kalimantan Barat dinodai di serawak Malaysia. Kemudian, LSM peduli buruh migran menemukan 21 orang menjadi gila setelah bekerja di Malaysia. Begitulah yang di beritakan di media massa dan diungkapkan dalam berbagai laporan kasus oleh asosiasi pekerja yang ada. Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah?  Juga oleh kita?
Persoalan tenaga kerja Indonesia di luar negeri – atau lebih dikenal dengan sebutan buruh migran-, memang persoalan yang rumit. Entah dari mana mesti mengurainya. Yang pasti sejauh belum ada perbaikan yang fundamental terhadap sistem penanganan buruh migran, perundang-undangan, hingga moralitas aparat yang terkait, sampai kapanpun nasib mereka akan tetap merana.

Baru-baru ini, musibah juga telah menimpa dua buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi.  Pertama seorang ibu yang berdomisili di Pabedilan Kabupaten Cirebon. Ia telah menerima penganiayaan yang sangat kejam dari majikan di mana ia bekerja. Bagian punggung dan siku tangannya disiram dengan air panas, sementara bagian perutnya disetrika. Tidak cukup hanya itu, dia juga menerima penganiayaan di bagian kepala serta kaki, sehingga untuk beberapa bulan dia tidak bisa berjalan. Sungguh menyedihkan, dia berangkat dengan harapan mendapatkan segenggam uang untuk mengubah nasibnya, tetapi yang ia dapatkan justru bentuk derita baik fisik maupun mental serta bayang-bayang masa depan yang kelam.

Demikian halnya yang dialami oleh Ekoy Rokayah yang berlamat di Kec Ligung, Ia harus menderita kebutaan pada mata sebelah kirinya akibat ulah majikannya yang  sadis menyiksa, penderitaan demi penderitaan mulai dari pukulan yang sering mendarat.  Berniat memperbaiki nasib  dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jeddah Arab Saudi, malah kini Rukoyah harus rela  separoh matanya cacat..

Kasus ini hanya sedikit dari sekian kasus yang sempat terungkap. Ibarat gunung es, hanya ujungnya yang nampak, sementara bagian-bagian terbesarnya tertutup rapat. Dan pada kasus ini, agaknya tertimbun oleh sistem sosial dan birokrasi.

Devisa dari Derita

Departemen Tenaga Kerja RI Cenderung memberikan dukungan penuh terhadap upaya pengiriman buruh migran Indonesia ke luar negeri. Agaknya, paradigma yang dipakai adalah paradigma perdagangan dan komoditisasi buruh migran Indonesia. Sementara hakikat kemanusiaan  dan realitas bahwa buruh  migran adalah pekerja yang memiliki hak-hak yang mesti dihormati, lebih banyak diabaikan.

Keberadaan buruh migran meng-untungkan negara pengirim dan penerima dengan bentuk dan derajat yang  berbeda. Negara penerima, jelas  akan mendapatkan pekerja yang murah dan mudah diatur, dan seringkali dengan bergaining position yang lemah. Sedangkan bagi negara pengirim, buruh migran merupakan salah satu sumber devisa. Sebanding dengan komoditas ekspor, buruh migran akan mendatangkan pemasukan bagi negara karena pihak pengguna jasa buruh migran itu mesti membayar dengan jumlah tertentu. Selain itu, negara juga memperoleh keuntungan dari pajak yang dibayar oleh para buruh migran. Di samping tentunya, dana-dana kiriman dari para buruh migran kepada keluarganya yang bisa diposisikan sebagai modal.

Justru di sinilah letak persoalannya. Sekalipun para buruh migran itu banyak berjasa mendatangkan devisa  bagi negara, nasibnya tak banyak terpikirkan. Keselamatannya seringkali tak terjamin. Negara seolah tidak mempunyai sistem yang bisa membuat para buruh migran Indonesia bisa bekerja dengan tenang dan nyaman. Sejatinya, negara mendapatkan devisa dari derita para buruh migran, bahkan kita,………

Buruh migran adalah saudara kita, bahkan saudara yang telah mendatangkan manfaat untuk kita. Sesama saudara, seperti kata Nabi, Kita  di haramkan menistakan mereka (la Yahqiruhu), apa lagi menzalimi mereka (la Yazlimuhu).

Jangan heran ketika keberdayaan dan ketidakberdayaan biasanya disamakan dengan kesenjangan sosial yang kemudian  menyangkut kesenjangan-kesenjangan yang lainnya seperti  kesenjangan ekonomi masyarakat   yang itu semua diakibatkan dari ketidakadilan penguasa dalam memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap masyarakatnya.

Perlindungan Hukum bagi Buruh Migran

Di samping itu, sangat perlu memberikan pemahaman terhadap calon tenaga kerja tentang hak-hak yang harus didapat., sehingga nanti ketika ada hak yang tidak terpenuhi, mereka akan memiliki data sekaligus keberanian untuk menuntut. Tentu, peran kedubes RI untuk membela warga negara RI yang tengah mengadu nasib di negeri orang, sangat dibutuhkan di sini.

Di luar semua itu, semestinya pemerintah merubah pendekatan rasionalitas ekonomis dan birokratis, menjadi pendekatan kemanusiaan. Jika sejauh ini para buruh migran dipandang sebagai sekedar komoditas penghasil devisa, sudah selayaknya  kini  mereka dipandang sebagai manusia seutuhnya, yang memerlukan kenyamanan, keamanan, penghargaan dan sebagainya. Dan untuk menjamin semua itu, pemerintah mesti berperan sebagai pelindung warga negara sekaligus penegak rule of the law dalam pengiriman buruh migran ke luar negeri.

Apa yang bisa kita lakukan ?

Islam jelas menganjurkan kita memper-hatikan nasib orang yang tertindas dan teraniaya. Nabi Muhammad SAW sendiri, diutus untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Semestinyalah hati kita tergerak untuk berempati dan memikirkan derita yang dialami para buruh migran.

Paling tidak kita memberikan informasi yang benar berkaitan dengan persoalan-persoalan mereka dengan menyam-paiakan alamat-alamat lengkap lembaga terkait, terutama lembaga advokasi. atau kalau memeng kita memiliki skill yang memadai, maka memberikan bantuan secara langsung adalah hal yang lebih baik. wallahu a’lam. (Rosidin)


(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 01 - tanggal 05 Juli 2002)


PRT, Babu, pembantu rumah tangga, buruh, pekerja, migrant, migran, kasar, jongos, TKW, TKI, worker, labor, pjtki, bmi, Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar